"Aduuh, Mama. Masuk kok nggak ketuk-ketuk dulu sih!" Omel cewek itu. Ia langsung menutup kepalanya dengan bantal.
"Rizka, bangun dong. Itu ada Eca. Ayo bangun! Sudah cukup tidur siangnya," Mama menggoyang-goyangkan tubuh Rizka yang tertelungkup itu.
"Aah Mama. Rizka masih ngantuk Ma.. Eca suruh masuk aja deh. Suruh masuk kamar," Keluh Rizka pelan. Matanya masih terpejam. "Rizka capek banget, Ma.." Lanjutnya.
Mama menaikkan alisnya.
"Yaudah, Eca mama suruh masuk. Tapi kamu bangun dulu dong, masa' Eca masuk, kamu masih tidur? Kan nggak sopan. Bangun gih,"
Rizka tak bisa melawan lagi. Dengan malas-malasan ia membangunkan badannya, kemudian melangkah ke kamar mandi. Langkahnya sangat lamban seolah terdapat beban 2 ton di kakinya. Matanya pun masih setengah terpejam. Diam-diam Rizka melirik jam dinding di kamarnya yang bernuansa biru itu, jarum pendek berada di antara angka 3 dan 4 sedangkan jarum panjang berada di angka 6.
***
"Eh, halo Ca," Sahut Rizka pada Eca sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah. "Udah lama ya? Sori, tadi gue baru bangun, habis itu langsung mandi, hehe" Rizka meringis. Eca hanya tersenyum
"No problem. Bagus deh kalo lo udah baikan," Balas Eca ramah. Rizka mendelik.
"Baikan? Emang sebelumnya gue kenapa?" Tanya Rizka heran.
"Oh, elo nggak kenapa-kenapa kok. Maksud gue, udah baikan dari penyakit tidur lo itu, yang bikin lo ngantuk terus.." Eca mencoba berargumen. Rizka senyum-senyum sendiri.
"Ah, aneh-aneh aja lo," Rizka malah kelihatan seneng dibilang begitu. Aneh ya?
Rizka langsung duduk di samping Eca, tepatnya di kasurnya sendiri. Ia menghela nafas panjang, kemudian menunduk. Eca melirik ke arah sahabatnya. Kenapa lagi sih nih anak? Batinnya.
"Riz, gue boleh tanya sesuatu nggak?" Tanya Eca polos.
"Mau tanya apa, Ca? Tanya aja." Pandangan Rizka berubah lurus ke depan.
"Mm, lo kenapa sih? Gue perhatiin dari tadi sejak pulang sekolah, lo murung terus. Lo ada masalah? Cerita dong ke gue. Siapa tau gue bisa bantu," Jawab Eca pelan. Lalu menghembuskan nafas panjang. Ia menatap Rizka. Rizka bergidik. "Lo kenapa, Riz?" Tanya Eca cemas. Ia memegang pundak Rizka.
"Gue nggak kenapa-kenapa kok. Gue baik-baik aja. Lo nggak usah khawatirin gue," Rizka memelas. Perutnya mulas, matanya terpejam. Perlahan air mata membasahi pipinya, mengalir dengan derasnya.
"Rizka, lo kenapa? Siapa yang udah nyakitin lo sampai lo kayak gini?" Eca menatap Rizka sayu. Ia benar-benar khawatir. Rizka masih menangis. Air matanya semakin deras. Eca sedikit shock. "Riz, lo mau bikin gue mati duduk disini? Cerita Riz, gue sahabat lo.. Udah sejak TK kan kita sahabatan? Rizka, lo kenapa?" Eca terus mengulang pertanyaannya mengenai masalah apa yang sedang dialami Rizka. Dan melihat Rizka hanya terdiam dan terus menangis, ia pun terbawa suasana. Ia memeluk Rizka, dan ikut menitikkan air matanya walaupun tidak sederas Rizka. Ia benar-benar dapat merasakan sakit yang dialami sahabatnya ini. Terhanyut.
"Ikhsan..." Ucap Rizka tiba-tiba. Spontan Eca langsung melepas pelukannya, ia tersentak mendengar Rizka menyebut nama itu. Eca menatapnya dalam-dalam.
"Apa, Riz?" Eca menaikkan alisnya. Tetesan air matanya berhenti, dahinya berkerut. Pandangan matanya pun berubah menjadi berapi-api.
"Cowok itu.. Ngingetin gue sama Ikhsan.." Lanjut Rizka, misterius.
"Cowok siapa? Siapa, Riz?" Kini Eca penasaran sekaligus takut, ia cemas. Ia cemas jika Rizka kembali mengingat Ikhsan. Kembali mengingat masa lalunya. Masa lalunya yang suram.
Rizka menghembuskan nafas panjang. Lalu perlahan berkata,
"Gue nggak tahu siapa namanya.. Yang pas..ti, dia ngingetin gue sama Ikhsan.. Cowok itu... Nggak punya hati..." Jawab Rizka tersendat-sendat. Matanya terpejam. Ia menyeka air matanya sendiri.
Eca tak bisa bicara apa-apa. Bibirnya bergetar. Perutnya sudah terasa mulas sejak pertama kali mendengar Rizka menyebut kata "Ikhsan". Rizka tahu yang dirasakan Eca.
"Lo tenang aja... Gue udah dapet cara kok," Sahut Rizka tiba-tiba. Eca sedikit kaget.
"Cara? Cara apaan, Riz? Riz, lo nggakmau bunuh diri kayak dulu lagi, kan? Rizka, jawab pertanyaan gue," Eca memelas. Ia mendekatkan tubuhnya ke Rizka.
"Gue nggak akan bunuh diri lagi kok. Gue nggak akan ngelakuin hal konyol kayak gitu, Ca. Gue cuma mau ngebuktiin ke dia, juga ke Ikhsan."
"Emangnya apa yang mau lo buktiin ke dia? Jangan aneh-aneh Riz.."
"Buktiin kalo gue nggak belagu." Sorot mata Rizka terlihat penuh kebencian, dan kerinduan yang telah lama ia pendam. Namun ia berusaha menutupinya, dan lebih terlihat benci. "Cowok itu, ngatain gue belagu, Ca.." Setelah berkata demikian, Rizka langsung memeluk Eca. Air matanya kembali menetes. Eca membalas pelukan Rizka, ia mengelus rambut sahabatnya yang masih agak basah.
"Riz, dengerin gue. Gue tahu kenangan di masa lalu tentang Ikhsan emang udah ninggalin luka di hati lo. Tapi bukan berarti lo mau terus mengenang luka itu kan? Lupain aja, Riz. Biarin kenangan itu pergi dengan sendirinya, dan lo nggak akan terus terluka kayak gini. Kenangan itu cuma sejarah, Riz. Nggak ada gunanya lo inget-inget terus."
"Tapi gue cuma mau kasih bukti ke mereka kalo gue ini nggak belagu. Gue bukan cewek belagu, Ca! Bukan!" Rizka menggertak. Ia melepas pelukannya. Ia terus menangis, salah satu tangannya menutup mulutnya. "Gue cuma nggak mau luka itu terus membekas di hati gue.. Sama aja gue lupain, tapi lukanya nggak akan pernah hilang. Gue mau luka itu lenyap, Ca. Nggak berbekas. Dan bener-bener ilang..." Lanjutnya parau.
Eca menunduk, ia sungguh tak bisa berkata apa-apa lagi. Kata-kata Rizka seolah mengunci mulutnya. Eca bergeming.
"Riz, lo masih sayang sama Ikhsan?" Pertanyaan yang sungguh tak diduga oleh Rizka. Rizka sedikit mundur ke belakang karena kaget. Ia menatap Eca tajam.
"Kenapa lo nanya kayak gitu?" Sahut Rizka sinis. Bibirnya bergetar. Perasannya campur aduk tak karuan.
"Jawab aja, Riz." Eca seperti menantang. Kini giliran Rizka yang membisu. "Kenapa, Riz? Nggak bisa jawab?" Eca menyahut.
"Nggak! Gue udah nggak sayang sama dia, gue benci sama dia! Benci!" Teriak Rizka kemudian. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Eca berdiri tegap.
"Cuma elo, hati lo, dan Tuhan yang tahu, Riz."
Rizka tak bereaksi. Tak sedikitpun ia menatap Eca, melirik pun tidak. Entah apa alasannya.
(To Be Continued...)
0 komentar:
Posting Komentar
---PERHATIAN---
Apabila Anda merasa artikel ini bermanfaat, boleh di share dimana saja. Tetapi mohon untuk menyertakan link sumbernya. Trimakasih :)